M.Ar.Rakhman Putra Blog

Astra International Daihatsu – Sunter

Archive for March 2012

Adverbial Clauses & Direct-Indirect Speech

leave a comment »

ADVERBIAL CLAUSES

An adverbial clause is a dependent clause that functions as an adverb. In other words, it contains a subject (explicit or implied) and a predicate, and it modifies a verb.

for example adverbial clauses of reason, time, concession, manner or condition, as illustrated below :

a. Reason
Because Marianne loved Willoughby, she refused to believe that he had deserted her.
b. Time
When Fanny returned, she found Tom Bertram very ill.
c. Concession
Although Mr D’Arcy disliked Mrs Bennet he married Elizabeth.
d. Manner
Henry changed his plans as the mood took him.
e. Condition
If Emma had left Hartfield, Mr Woodhouse would have been unhappy.

(Jim Miller, An Introduction to English Syntax. Edinburgh Univ. Press, 2002)

Reason Clause has the function :

Used to indicate the reason for something.

Time clauses has the function :

Used to say when something happens by referring to a period of time or to another event.

Concession clauses has the function :

Used to make two statements, one of which contrasts with the other or makes it seem surprising.

Manner clauses has the function :

Used to talk about someone’s behaviour or the way something is done.

Condition clauses has the function :

Used to talk about someone’s behaviour or the way something is done.

Direct-Indirect Speech

Saying exactly what someone has said is called direct speech (sometimes called quoted speech)

Here what a person says appears within quotation marks (“…”) and should be word for word.

For example:

She said, “Today’s lesson is on presentations.”

or

“Today’s lesson is on presentations,” she said.

Indirect Speech / Reported Speech

Indirect speech (sometimes called reported speech), doesn’t use quotation marks to enclose what the person said and it doesn’t have to be word for word.

When reporting speech the tense usually changes. This is because when we use reported speech, we are usually talking about a time in the past (because obviously the person who spoke originally spoke in the past). The verbs therefore usually have to be in the past too.

Example:

He said he was going to the cinema.

Question words:
This type of question is reported by using ‘ask’ (or another verb like ‘ask’) + question word + clause. The clause contains the question, in normal word order and with the necessary tense change.

Examples:

  • “What is your name?” he asked me. He asked me what my name was.
  • “How old is your mother?”, he asked. He asked how old her mother was.
  • The mouse said to the elephant, “Where do you live?” The mouse asked the elephant where she lived.
  • “What time does the train arrive?” she asked. She asked what time the train arrived.
  • “When can we have dinner?” she asked. She asked when they could have dinner.
  • The elephant said to the mouse, “Why are you so small?” The elephant asked the mouse why she was so small
  • Christopher said “Do you want to dance?” Christopher asked me if I wanted to dance.

Exercise :

1. Adverbial Clause

a. She did the work just as I told her last week .

Answer Key : as I told her last week .

b. Put this painting wherever you like .

Answer Key : wherever you like .

c. She closed the door after she had swept the floor .

Answer Key : after she had swept the floor .

d. Susan takes a computer lesson in order that she can get a job easily .

Answer Key : in order that she can get a job easily .

e. Since it’s raining so heavily, I can’t go out.

Answer Key : Since it’s raining so heavily .

f. If I were a bird, I would fly.

Answer Key : If I were a bird .

g. Even though I don’t have much money, I will try to help him.

Answer Key : Even though I don’t have much money .

2. Direct and Indirect

a. Beckham : Did you know what Fingo said yesterday?
Raul          : Of course. He said ____ the previous day.
a. had gone to his country            d. he went to his country
b. he has gone to his country        e. he goes to his country
c. he will go to his country
Answer Key  : A (had gone to his country) yaitu : sentence if direct / simple past direct, indirect / circuitous be past perfect)
b. Teacher : Why was Mary absent yesterday?
Jenifer   : What did the teacher want to know, Ferdy?
Ferdy     : he wanted to know ____
a. if Mary was absent            d. that Mary had been absent
b. why Mary was absent            e. why Mary had been absent
c. why was Mary absent
Jawaban : E (why Mary had been absent) direct Wh-question form past tense past perfect form so indirect).

References :

http://en.wikipedia.org/wiki/Adverbial_clause, 
http://grammar.about.com/od/ab/g/qdvclterm.htm, 
http://www.hulya.cankaya.edu.tr/ingilizce4.htm,
http://www.learnenglish.de/grammar/reportedspeech.htm
http://books.google.co.id/books?id=tCv70NW9uSAC&pg=PA87&lpg=PA87&dq=latihan+adverbial+clauses&source=bl&ots=7OffnU9zUj&sig=6tcunNwe9GKF9snSkQjWYP1zrs8&hl=id&sa=X&ei=wzJ6T8LyGcXwrQecruyiAg&ved=0CFQQ6AEwCA#v=onepage&q=latihan%20adverbial%20clauses&f=false
http://free-english-lesson.blogspot.com/2007/05/adverb-clause.html

Written by Rakhman Astra Daihatsu Sunter

March 31, 2012 at 5:06 pm

Posted in Uncategorized

Tugas ke – 3 Komputer Lembaga Keuangan Perbankan

leave a comment »

BANK Terdiri dari

  • Liabilities yang sifatnya sebagai source of found atau pihak yang menghimpun dana masyarakat (+)

Terdiri dari :

* Capital : Saham atau berasal yang dari pemilik bank itu sendiri

* Securities yaitu pinjaman – pinjaman bank itu sendiri. Biasanya berupa kredit likuiditas BI atau sering disebut KLBI, dan Obligasi.

* Deposit dari dana nasabah bank itu sendiri atau dana masyarakat.

Terdiri atas :

  1. Time Deposits yaitu deposito berjangka, transaksi ini bersifat stabil seperti garis lurus pada bank.
  2. Saving deposits yaitu tabungan nasabah, transaksi ini berifat naik turun hanya intensitas nya kecil
  3. Demand Deposits yaitu rekening giro. Dengan demand deposits nasabah dapat melakukan transaksi lewat cek/biliyet giro (BG).
  • Assets sifatnya sebagai use of found atau pihak yang meminjamkan uangnya ke masyarakat (-) terdiri dari :

– Cash Reserves , yaitu persediaan cadangan kas bank :

* Kas , Berapa besar kas yang harus disimpan tergantung historical bank (menggunakan rumus peramalan regresi).

* R / K Pada BI ( SIMPANAN ) , berapa besar kas yang harus disimpan di BI yaitu Biasanya besarannya berjumlah 8% dari jumlah deposit yang dimiliki seluruh nasabah. R / K pada BI ini gunanya sebagai tolak ukur likuiditas bank tersebut dan transaksi kliring yaitu transaksi antar bank.

– Loan / Kredit ( pinjaman / kredit )

..multiplier, menggunakan rumus dibawah ini

=loan : (deposit x capital) × 100 % > Maks 110 %

dengan 10 % diambil dari capital .

..prinsip kehati hatian bank yaitu minimal 20 % dari pengajuan loan.

– Securities terdapat :

*Obligasi

*Saham

*Pinjaman antar bank

Sisi yang sering di atur pemerintah adalah assets sedangkan liabilities dibebaskan.

Written by Rakhman Astra Daihatsu Sunter

March 18, 2012 at 5:06 pm

Ringkasan – FINANCIAL WORLD FLOW –

leave a comment »

FINANCIAL WORLD FLOW

Nama : Muhammad Ar. Rakhman Putra

NPM    : 16209770

Kelas   : 3ea16

KOMP. LEMBAGA KEUANGAN PERBANKAN

+                 A

bank          ↑

–                  B

Di dalam masyarakat terbagi menjadi 2 kelompok yaitu masyarakat A surplus dana (berlebihan) dan masyarakat B defisit dana (kekurangan).

Kemudian jika suatu hari si B ingin meminjam uang kepada si A itu harus memenuhi 2 syarat yaitu si A dan si B harus

1. Kenal kemudian Trust

2. Tersedia dengan apa yang diinginkan

Keduanya disebut dengan DOUBLE COINCIDENCE , dan di dalam double coincidence itu terdapat istilah FINANCIAL INTERMEDIARY atau PERANTARA KEUANGAN.

+                 A

      ↓

bank          ↑

      ↑

–                  B       ( Law Of The Large Member )

Penjelasan Gambar

Antara Si A dan Bank terjadi

  • Deposit – Saving deposit = Tabungan

                              – Demand deposit = Giro

                              – Time deposit = Deposit

ketiganya disebut dengan Dana masyarakat (Dana pihak ke 3)

Antara si B dengan Bank terjadi

  • Kredit / Loan

maksud dari Law Of The Large Member adalah

1 – 10 juta : 1 orang menabung 10 juta

atau

10 – @1 juta : →10 orang menabung masing-masing 1 juta

bank lebih memilih 10 orang menabung di bank tersebut sebesar @Rp. 1.000.000 dari pada memilih 1 orang sebesar Rp10.000.000 , ini bisa lebih mengurangi resiko bank lebih besar.

Gambar di atas menjelaskan menjelaskan A ingin menabung di bank karena tingkat bunga yang besar , oleh pihak bank uang yang akan menghasilkan bunga si A kemudian Bank memakai uang si A untuk memberikan pinjaman kepada si B dengan bunga yang besar yang akan diberikan oleh A .

Jadi i1 adalah bunga si A ( penabung )

i2 adalah bunga si B ( peminjam )

i2 > i1 karena i2 – i1  = Π bank ( Interest Spread atau Keuntungan Bank )

Capital Merket terdiri dari

  • Saham ( Surat Kepemilikan )
  • Obligasi ( Surat Hutang )

Saham dibagi menjadi 2 :

  • Deviden
  • Capital Gain –  misal 07.03.12       09.00 dengan UNL     9000 / lot                                   maka 08.03.12       14.00 dengan UNL     9500 /  lot

Short selling yaitu mencari keuntungan dengan waktu yang pendek atau singkat.

Jika si B mengalami kerugian atau kematian maka Bank tidak akan menanggung kerugian sendiri yaitu bank bekerja sama dengan pihak asuransi.

BANK → Asuransi XYZ  : Premi 30, UP 30

                                    ↓          Reasuransi

                    Asuransi KLM : Premi 30, UP 30

                                    ↓          Retrocessi

                    Asuransi ABC : Premi 40, UP 40

Biasanya Asuransi ABC sering terjadi di Luar Negeri.

BANK

          ↑    DEF Leasing ( i4 ) > Konsumtif : – Kendaraan , – Elektronik

–        B

i4 > i2

Asuransi ABC membuka usaha untuk mendapatkan saham dari Bank dan usaha asuransi ABC membeli saham @20% , K=20% L= 20% M=20% kemudian  pemilik mendapat 40% sisa untuk mendapatkan saham Bank , sehingga asuransi ABC  memiliki Bank dan DEF leasing.

Transnational corporation adalah perusahaan asuransi abc memiliki saham dari beberapa bank di negara lain.

Written by Rakhman Astra Daihatsu Sunter

March 11, 2012 at 3:32 am

Perkembangan Perbankan Indonesia 1990 – 2010

leave a comment »

Nama    : Muhammad Ar.Rakhman Putra

Kelas     : 3EA16

Npm      : 16209770

Mata Kuliah   :  Komp. Lembaga Keuangan Perbankan

Perbankan nasional berjalan seiring dengan bergulirnya perubahan kebijakan kepemilikan perbankan. Sebelum 1980-an, bank hanya dimiliki para bankir yang memang berkemampuan mengelola bank. Pada masa 1990-an setelah liberalisasi perbankan, bank kemudian banyak dimiliki oleh para konglomerat.

Transformasi kembali terjadi pada 1999 saat penutupan bank marak. Pemilik bank yang sebagian besar adalah konglomerat lengser ketika krisis 1997/1998 menyerang negeri ini. Perubahan kepemilikan terjadi lagi karena banyak bank yang tidak dilikuidasi beralih kepemilikan ke tangan asing. Kebijakan pemerintah sebenarnya dimaksudkan untuk mengembangkan industri perbankan.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pihak regulator demi mendorong perkembangan perbankan nasional akhirnya memang memiliki implikasi yang berbeda.

Ada yang arahnya tepat, ada pula yang kemudian menimbulkan kontroversi, seperti soal kebijakan terlalu mudahnya mendirikan bank atau terlalu bebasnya batasan kepemilikan asing di perbankan Indonesia.

Jumlah bank berkembang kian pesat setelah Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 88) dirilis pada 27 Oktober 1988. Pakto 88 itu dikeluarkan karena pemerintah berkeinginan mendorong perluasan jaringan keuangan dan perbankan ke seluruh wilayah di Indonesia. Alhasil, kemudahan pendirian bank swasta baru dan pembukaan kantor cabang baru pun diberikan.

Kebijakan itu kini dikenal sebagai aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan nasional. Pakto 88 juga dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan di negeri ini. Bahkan, tak sedikit yang menganggap aturan tersebut sebagai suksesi karena berhasil mendorong perkembangan industri perbankan.

Kalangan investor/swasta tertarik untuk berekspansi dalam industri perbankan. Sebagai akibatnya perkembangan bank swasta nasional mengalami per­tumbuhan yang sangat pesat dan laju pertumbuhannya telah mampu mematahkan dominasi bank pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya bermunculan bank-bank baru dan juga pembukaan kantor-kantor bank, terutama oleh bank swasta.  Pada tahun tersebut banyak kelompok-kelompok perusahaan besar mendirikan bank-bank baru. Kelompok usaha Bakrie misalnya, mendirikan Nusa Bank, Subentra Group mendirikan Bank Subentra, Jaya Group mendirikan Jaya Bank serta bebera­pa kelompok perusahaan lainnya.

Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.

UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.

Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.

Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas.

Keadaan ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter pada tahun 1990.  Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK).  Pada tahun yang sama juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat (Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa bank untuk mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.

Kondisi Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an

Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.

Kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.

Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional.

Ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu, ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan penyesuaian sehingga untuk selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh bank-bank tersebut adalah :

(i)  Bank Negara Indonesia (Persero)

(ii) Bank Bumi Daya (Persero)

(iii) Bank Rakyat Indonesia (Persero)

(iv) Bank Dagang Negara (Persero)

(v) Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)

(vi)Bank Pembangunan Indonesia (Persero) dan

(vii)Bank Tabungan Negara (Persero).

Kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah) pada tanggal 30 Oktober 1992 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1990 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank yang memilih kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan sebagai bank konvensional, demikian pula sebaliknya.

Kegiatan operasional bank berdasarkan prinsip bagi hasil baik dalam penghimpunan dan penanaman dana maupun dalam pemberian jasa perbankan lainnya serta dalam hal risiko usaha pada dasarnya sama dengan bank konvensional. Yang membedakan adalah bahwa imbalan semua transaksi perbankan tidak didasarkan pada system bunga melainkan atas dasar prinsip jual beli sebagaimana digariskan dalam syariat (hukum) Islam.

pengawasan 1983-1990

Hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Tugas tersebut tetap melekat bahkan dipertegas dalam Undangundang Perbankan baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1990. Dalam Bab I pasal 29 sampai dengan 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1990, peran Bank Indonesia mencakup fungsi regulasi, pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan, serta penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan bank.

Terdapat pula kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi hal-hal yang dilakukan bank seperti dalam pasal 7 tentang kegiatan dalam valuta asing, penyertaan modal, serta bertindak sebagai pendiri dan pengurusan dana pensiun. Perbedaan fundamental dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia berdasarkan kedua undang-undang tersebut adalah dari segi pendekatan dan pola pelaksanaan dengan menerapkan kebijakan deregulasi. Khusus untuk bank-bank pemerintah dan bank pembangunan daerah pengawasannya juga dilakukan oleh BPK/BPKP. Sedangkan bank-bank yang sudah go public pengawasannya dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bapepam.

Nilai kurs sejak tahun 1990 – 1997

Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996. kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1977 gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997 melepas bata-batas kurs intervensi.

Dengan pelepasan batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar rupiah yang mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Walaupun demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal dan moneter.

Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.

Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut — level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.

Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody’s menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi “junk bond”.

Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.

Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak.

Jalan Berliku Perbankan Indonesia di 2008-2009

Perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya Indonesia. Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.

Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.

Muncul kabar dan rumor negatif adanya redemption di pasar modal oleh para investor asing guna menutupi keuangan di negaranya, telah membuat nilai tukar rupiah terus melorot dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Akibatnya, kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi.

Modus yang dilakukan si penyebar rumor likuiditas perbankan nasional ini dengan menyebarkan surat elektronik kepada sejumlah kliennya yang isinya bahwa lima bank dalam keadaan kesulitan keuangan, yaitu Bank Artha Graha Internasional, Bank Bukopin, Bank Century, Bank Panin, dan Bank Victoria.

Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Dampak dari over regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_finansial_Asia_1997#Indonesia

http://www.infobanknews.com/2011/03/jejak-langkah-kepemilikan-bank-di-indonesia-2/

http://lovelycimutz.wordpress.com/2010/10/10/perkembangan-perbankan/

Written by Rakhman Astra Daihatsu Sunter

March 3, 2012 at 5:28 pm